Tujuh belas tahun yang lalu ketika pertama kali menginjakkan kaki di Semarang, dalam mata kecil saya kota ini adalah kota yang panas dan berdebu, jalanan yang lengang dan pusat keramaian bernama Simpanglima. Kedungmundu terkenal dengan keangkerannya karena adanya ‘bong cina’ yang luas. Jalan Brigjen Sudiarto yang masih bernama jalan Majapahit sekaligus tempat dimana terdapat Istana Majapahit yang legendaris diwaktu kecil saya. Ngaliyan, Mangkang? Ah, itu di luar kota Semarang demikian pikir saya waktu itu.
Masih dalam bayangan masa kecil saya, kadang saya bermimpi buruk tentang kota ini, lengang dan berdebu penuh dengan monster yang bersembunyi di got-got besar sepanjang jalan Sriwijaya yang bersambung ke jalan Veteran, termasuk mimpi seram tentang rumah tua di sudut jalan Ki Mangunsarkoro dan jalan Veteran bekas istana Oei Tiong Ham sebelum beralih rupa menjadi kampus seperti sekarang. Jajaran bangunan gudang reyot bekas gudang gula sang hartawan Oei di gang yang entah apa namanya di sisi jalan veteran pun pernah masuk dalam mimpi buruk saya.
Sebuah kota yang kosong, tidak seperti Jogja yang masih membawa langgam mataraman-nya (dulu) atau Solo sebagai jantung jawa pun Surabaya dengan tradisi areknya. Tidak banyak yang saya cecap dari kota ini selain “kota-kota-pesisir-pada-umumnya”. Kota yang kemudian tiba-tiba merobohkan gelanggang olahraga yang ada di sisi utara dari Simpanglima untuk menjadi sebuah mall pertama di Semarang, membongkar Mickey Mouse dan bersalin rupa menjadi Super Ekonomi yang juga tidak bertahan lama, kota yang tiba-tiba memunculkan Johar Shopping Center yang berdampingan dengan Pasar Johar yang legendaris (dan ternyata terbukti tidak bisa bertahan lama sehebat Johar). Kota yang merayakan haru biru tahun baru dengan dangdut massal di simpanglima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar