Saya adalah wong Jogja asli. Saya cinta banget sama kota ini, bahkan saya ikhlas kalo semisal harus menghabiskan seluruh jatah hidup saya di kota ini. Kebetulan saja sekarang saya bermukim sementara di kota tetangga, Solo. Jogja dan Solo bagi saya memiliki keeksotisan sendiri. Kebudayaan kedua kota ini hampir sama, yah maklum saja karena dulunya Jogja dan Solo memang merupakan satu kerajaan yang kemudian berpisah setelah ada perjanjian Giyanti pada 1755. Berbasis keraton sebagai penyangga utama kebudayaan, Jogja dan Solo selama ini masih dikenal sebagai kota budaya.
Melihat pembangunan di kedua kota ini hati saya bagai terbelah dua (hayaahhh...). Disatu sisi saya senang melihat kedua hometown saya itu maju, yang ditandai dengan bermunculannya bangunan-bangunan pusat perbelanjaan yang mewakili kebudayaan modern disana sini. Tapi disisi lain saya merasa miris juga. Apa iya 15 atau 20 tahun yang akan datang Jogja dan Solo masih mampu mempertahankan kebudayaannya yang sangat luhur dan eksotis itu?
Foto ilustrasi pada guneman kali ini saya ambil di keraton Solo beberapa bulan yang lalu. Lihatlah betapa luhurnya kebudayaan Jawa, terwakili dengan seorang abdi dalem tua berpakaian adat (kemben) yang sedang khusyuk memanjatkan doa ditingkahi kepulan asap kemenyan. Coba sampeyan semua bayangken, di jaman internet sekarang ini masih ada juga yang bakar kemenyan...sungguh sangat eksotik bukan??
Lha kalo mbah-mbah seperti yang ada dalam foto itu sudah mati semua, sementara yang muda-muda lebih tertarik untuk nongkrong di mall, berlomba update fashion ala distro, dan mencoba berbagai variasi rasa kondom daripada ikut berpartisipasi melestarikan kebudayaannya sendiri, trus piye?